Powered by Blogger.

Friday 9 December 2016

Mempenjarakan Angin


TIdak ada henti-hentinya. TIdak ada kapok—kapoknya, Baginda selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagai pertanyaan atau tugas yang aneh-aneh. Hari ini Abu Nawas juga dipanggil ke istana.

Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.

“Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin.” kata Baginda Raja memulai pembicaraan.

“Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba Iakukan hingga hamba dipanggil.” tanya Abu Nawas.

“Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya.” kata Baginda.

Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. la tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar— benar angin.

Karena angin tidak bisa dilihat.

Tidak ada benda yang Iebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat. Sedangkan angin tidak. 

Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. la yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak 

jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya. 

Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belumjuga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar—benartidak bisa tidurwalau hanya sekejap. 

Mungkin sudah takdir; kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagaI melaksanakan perintah Baginda. Ia berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya. 

“Bukankah jin itu tidak terlihat?” Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian menuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas Iangsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya. 

Dengan tidak sabar Baginda Iangsung bertanya kepada Abu Nawas. 

“Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?” 

“Sudah Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas dengan muka berseri—seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. KemudianAbu Nawas menyerahkan botol itu. 

Baginda menimang-nimang botol itu. 

"Mana angin itu, hai Abu Nawas?” tanya Baginda. 

“Di dalam, Tuanku yang mulia.” jawab Abu Nawas penuh takzim. 

“Aku tak melihat apa-apa.” kata Baginda Raja. 

“Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka tenebih dahulu.” kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung. 

“Bau apa ini, hai Abu Nawas?!” tanya Baginda marah. “Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya 

dengan cara menyumbat mulut botol.” kata Abu Nawas ketakutan. 

Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. Dan untuk kesekian kali Abu Nawas selamat. 

Thursday 8 December 2016

Pekerjaan Yang Mustahil


Baginda baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya.

Baginda tiba-tiba merasa tertarik . Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama.

Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang amat cerdik di negerinya.

Abu Nawas segera dipangqil untuk menghadap baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda,

“Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya Baginda.

Abu Nawas tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin dihukum.

Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu Iagi permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan.

Abu Nawas pulang dengan hati masgul. Setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang bintang. Hari-hari dilewati dengan kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari ini. Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.

Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. Ia menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.

“Ampun Tuanku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar peken‘aan hamba nanti.” kata Abu Nawas.

“Apa usul itu?”

“Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari Iagi.”

“Kalau hanya usulmu, baiklah.” kata Baginda. 


“Satu lagi Baginda ..... ”Abu Nawas menambahkan. 


“Apa Iagi?” tanya Baginda. 


“Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan Iangsung kepada para fakir miskin.” kata Abu Nawas. 


“Usulmu kuterima.” kata Baginda menyetujui. Abu Nawas pulang dengan perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung. ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup. 


Desas—desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas kemampuan Abu Nawas Karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya. Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini. 


Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju Iapangan untuk melakukan salat Hari Raya ldul Qurban. Dan seusai salat, sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir miskin. 


Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat Sesampai di depan istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja, 


“Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya Iagi?” 

“Tldak ada." jawab Baginda Raja singkat. 


Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. Ia berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar. 


“Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?” tanya Baginda Raja. 


“Hamba sudah siap sejak tadi Baginda.” kata Abu Nawas. 


“Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?” tanya Baginda masih diliputi perasaan heran. 


“Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan titan Paduka.” 


Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari Iubangjarum. 


Mengecoh Gajah


Abu Nawas sedang berjalan-jalan santai. Ada kerumunan masa. Abu Nawas bertanya kepada seorang kawan yang kebetulan berjumpa di tengahjalan.

“Ada kerumunan apa di sana?" tanya Abu Nawas.

“Pertunjukkan keliling yang melibatkan gajah ajaib."

“Apa maksudmu dengan gajah ajaib?” kata Abu Nawas ingin tahu.

“Gajah yang bisa mengerti bahasa manusia, dan yang Iebih menakjubkan adalah gajah itu hanya mau tunduk kepada pemiliknya saja." kata kawan Abu Nawas menambahkan.

Abu Nawas makin tertarik. la tidak tahan untuk menyaksikan kecerdikan dan keajaiban binatang raksasa itu.

Kini Abu Nawas sudah berada di tengah kerumunan para penonton. Karena begitu banyak penonton yang menyaksikan pertunjukkan itu, sang pemilik gajah dengan bangga menawarkan hadiah yang cukup besar bagi siapa saja yang sanggup membuatgajah itu mengangguk-angguk.
Tidak heran bila banyak diantara para penonton mencoba maju satu persatu. Mereka berupaya dengan beragam cara untuk membuat gajah itu mengangguk-angguk, tetapi sia-sia. Gajah itu tetap menggeleng-gelengkan kepala.

Melihat kegigihan gajah itu Abu Nawas semakin penasaran. Hingga ia maju untuk mencoba. Setelah berhadapan dengan binatang itu Abu Nawas bertanya,

“Tahukah engkau siapa aku?" Gajah itu menggeleng.

“Apakah engkau tidak takut kepadaku?” tanya Abu Nawas lagi. Namun gajah itu tetap menggeleng.

“Apakah engkau takut kepada tuanmu?” tanya Abu Nawas memancing. Gajah itu mulai ragu.

“Bila engkau tetap diam maka akan aku Iaporkan kepada tuanmu.” IanjutAbu Nawas mulai mengancam. Akhirnya gajah itu terpaksa mengangguk-angguk.

Atas keberhasilan Abu Nawas membuat gajah itu mengangguk-angguk maka ia mendapat hadiah berupa uang yang banyak. Bukan main marah pemilik gajah itu hingga ia memukuli binatang yang malang itu. Pemilik gajah itu malu bukan kepalang. Hari berikutnya ia ingin menebus kekalahannya.

Kali ini ia melatih gajahnya mengangguk- angguk.Bahkan ia mengancam akan menghukum berat gajahnya bila sampai bisa dipancing penonton mengangguk-angguk terutama oleh Abu Nawas. Tak peduli apapun pertanyaan yang diajukan.

Saat-saat yang dinantikan tiba. Kini para penonton yang ingin mencoba, harus sanggup membuat gajah itu menggeleng-gelengkan kepala. Maka seperti hari sebelumnya. banyak para penonton tidak sanggup memaksa gajah itu menggeleng-gelengkan kepala. Setelah tidak ada lagi yang ingin mencobanya, Abu Nawas maju. la mengulang pertanyaan yang sama.

“Tahukah engkau siapa daku?” Gajah itu mengangguk.

“Apakah engkau tidak takut kepadaku?” Gajah itu tetap mengangguk.

“Apakah engkau tidak takut kepada tuanmu?” pancing Abu Nawas. Gajah itu tetap mengangguk karena binatang itu Iebih takut terhadap ancaman tuannya daripadaAbu Nawas.
Akhirnya Abu Nawas mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsam panas.

“Tahukah engkau apa guna balsam ini?” Gajah itu tetap mengangguk.

“Baiklah. bolehkah kugosok selangkangmu dengan balsam?” Gajah itu mengangguk.
Lalu Abu Nawas menggosok selangkang binatang itu. Tentu saja gajah itu merasa agak kepanasan dan mulai panik.

Kemudian Abu Nawas mengeluarkan bungkusan yang cukup besar. Bungkusan itu juga berisi balsam.

"Maukah engkau bila balsam ini kuha_biskan untuk menggosok selangkangmu?" Abu Nawas mulai mengancam. Gajah itu mulai ketakutan. Dan rupanya ia lupa ancaman tuannya sehingga ia terpaksa menggeleng-gelengkan kepala sambil mundur beberapa langkah.

Abu Nawas dengan kecerdikan dan akalnya yang licin mampu memenangkan sayembara meruntuhkan kegigihan gajah yang dianggap cerdik.
Ah, jangankan geekor gajah, manusia paling panda saja bisa dikecoh Abu Nawas!